Selasa, 22 Maret 2011

Roh dan Garis


Roh dan Garis/ Ganesha gallery March 2011

Dalam pameran ini, dua seniman, Made Kaek dan Edy Able menampilkan “bayangan” dengan kekuatan hitam, putih dan emas.
Karya Kaek didominasi dengan binatang dalam bentuk unik dan humanoids. Semua lukisan berjudul ROH dan hanya dibedakan dengan nomor seri. Seperti pada ROH #4 yang mengingatkan kita pada lukisan Picasso, "Guernica". Sementara pada lukisan lain kita bisa temukan figur aneh dan kadang lucu. Figur ini seakan saling pandang, saling lirik dan saling mencibir, menatap satu sama lain dengan percikan biru di beberapa bagian.

Sementara pada karya Edy Able, goresan terlihat lebih halus. Garis-garis halus diungkapkan dengan detail yang seakan tanpa akhir. Dalam "Penyatuan Proses" dia tidak hanya menggabungkan kertas dan kanvas tetapi juga kayu yang menyatu menjadi sebuah lukisan. Berbeda dengan karyanya yang lain, karya yang satu ini berbentuk oval besar menyerupai rahim, mengingatkan kita pada ”coco de mer” yang dipuja sebagai manifestasi seorang dewi.

Karya seni kedua seniman ini padat dengan penggunaan garis hitam dan putih. Sedikit percikan warna dibeberapa bagian berfungsi untuk menarik perhatian. Kemudian mata kita akan kembali tertuju pada irama keseluruhan lukisan yang bergetar penuh misteri. Seperti seorang ilmuwan yang membedah dan menyatukan kembali suatu benda, untuk membuktikan bahwa apa yang terlihat sebagai satu kesatuan tidaklah sama ketika dilihat bagian demi bagian.

Kaek merupakan anggota Sanggar Dewata, salah satu kelompok seniman Bali yang paling bergengsi dan terkenal. Sementara Edy Able seorang pelukis otodidak dari Mojokerto, Jawa Timur, yang mulai menunjukkan karyanya untuk pertama kalinya pada tahun 2008 diusianya yang ke 38. Dia mengungkapkan kreatifitasnya dengan bebas namun puitis, yang juga terjadi pada banyak seniman, termasuk Kaek.

"Ketika proses kreatif mengalir alami, ini akan mempersatukan persepsi dengan jiwa, pikiran dengan hati, yang terjadi secara spontan. Aku mengekspresikan diriku melalui penggunaan setiap media yang tersedia. Garis dan titik yang harmonis sehingga terciptalah suatu bentuk" dengan demikian, tercipta jugalah roh hidup didalamnya...

Senin, 14 Februari 2011

Tulisan Arief


KAEK’S PLAYFUL SELF-REFLECTION
By Arif Bagus Prasetyo

MADE KAEK’S concepts and creative expressions generate from the intimate reality of his life. Kaek’s art works reflect the contemplation and comprehension of daily realities encountered by The Self and the pulsating world around it.
Apparent from the title works, Kaek’s treasure of creativity is centered upon his personal narrations. He sublimates and transforms his personal life’s notes. Experiences and testimonies into a unique aesthetic-visual composition. With Kaek, the creation his private life--a process that later will be “repeated” by his viewers following their appreciation and interpretation, thus giving the works the existential significance of an entity laden with meanings.
What is The Self? Following Freud’s discovery of the unconscious realm, The Self ceases to be the absolute, permanent and final reality that was imagined previously. The Self turns out to be a field where fragments of realities collide and compete against one another, uncontrolled and untamable; a field where non of these fragments of realities occupies the abode of truth and becomes “the master in its own house.” Being integral parts of The Self, thus all elements – both the noble-positive-rational and the ignoble-negative-irrational--are genuine.
By eliminating aspects of The Self that are considered wild, negative ad irrational, Public’s morality dictates the behavior of individuals within the society. This morality sets a list of norms to dictate what is permissible or forbidden, what list of norms to dictate what is permissible or forbidden, what is virtuous or bad, what is normal or abnormal, and what is civilized or barbarous. In pursuing his aesthetic life, rather than busying himself with public morality. Kaek chooses, instead, to delve with private morality: exploring the field of individual characters; seeking self-enlargement and self-enrichment. His spirit is creative, having “he desire to embrace more and move possibilities, to be constantly learning, to give oneself entirely to curiosity, to end by having envisaged all the possibilities of the past and of the future,” to quote Richard Rorty.
It is within this creative spirit that Kaek carries out his self-reflection project as a from of intense struggle with The Self’s complexity. Using a crude language of forms, Kaek effectively shapes the dynamics of conflicts along this process of self-reflection. His work’s forms connect directly with the flow and the effervescence of this thoughts and inner world.
Kaek’s work is a travelogue of this amusing and training journey into The Self’s interior. On the one hand his creative passion if filled with enchantment and ecstasy of adventure into The Self, and on the other with an awareness and desire to narrate the journey. The strong urge to narrate The Self’s complexities (experiences, dreams, hopes, loves) finally empties out into wild visual expressions.
The naïve characters of Kaek’s works remind us strongly of children’s drawings. He plays freely with forms. Flat images without three dimensional illusion dominate the pictorial space: no optical mannerism such as perspective or vanishing point. The figures are simple constructions that seem to pour out from the innocence of children’s imaginations. The bright and merry colors create cheerful, light and clamorous atmospheres, although sometimes reveal subdued thematic contents (like loneliness).
Faces dominate Kaek’s works, faces that generally considered to contain all characteristic attributes of self identities. The presence of those faces, no matter how simple, does not necessarily express an easy reduction of The Self’s descriptive interpretations; instead, it speaks of the complexity and cumbersomeness of self description. The complexity of The Self can be read from the presence of faces materializing from wild line that seems to move randomly in Kaek’s works suggest images in the state of disintegration, as revealed by the emergence of unstable patterns lacking any clear identity.
Kaek’s artistic expression appears to be influenced by the “Art Brut, “L’ art brut,” or raw art described drawings and images that were coming out from children or the mentally ills. Like Dubuffet, Kaek is suspicious of any dorm of perfectionism, and is skeptical or the homo aesthetics. Kaek freely deploys the spontaneous and obsessive “autistic” energy particular to that of children in his works. Imagination, fantasy and spontaneity –children’s typical qualities –are vitals in his works.
In Kaeks’s creative move, the orientation toward the naïve spirit of children’s world, which gives birth to idiosyncrasy, is a vehicle to reflect, interpret and unveil realities of The Self. It is here where Kaek offers new and fresh meaning to enrich our perspective of realities.
                                                English Translation by Gusti Rak Panji Tisna

KAEK’S PLAYFUL SELF-REFLECTION
By Arif Bagus Prasetyo

Gagasan dan ekpresi kreatif Made Kaek bersumber dari realitas kehidupan yang paling akrab dengan diri senimannya sendiri. Karya seni Kaek adalah refleksi dari renungan dan penghayatan atas realitas keseharian yang dialami Sang Diri (The Self), beserta dunia yang berdenyut di ekitarnya.
Sebagaimana terekam pada judul-judul karyananya, khazanah kreatif Kaek berpusat pada narasi tentang diri. Kaek mensublimasikan pengalaman-pengalaman, catatan-catatan dan kesaksian-kesaksian hidupnya yang sangat personal, kemudian mentransormasikannya jadi sebuah gubahan visual-estetik yang unik. Pada Kaek, penciptaan seni menjadi suatu upaya telaten untuk terus-menerus melakukan pemaknaan atas segi-segi kehidupan privat sang seniman. Sebuah proses yang kelak akan “diulang” oleh audiens melalui interprestasi dan apresiasi, sehingga karya mendapatkan signifikansi eksistensialnya sebagai sebuah kehadiran yang sarat makna.
Persoalannya, apakah sejatinya Sang Diri? Sejak Freud menemukan alam ketaksadaan, Sang Diri bukan lagi sebuah realitas yang final, absolute dan permanent, sebagaimana yang dibayangkan sebelumnya. Sang Diri ternyata adalah medan berkecamukannya keping-keping realitas yang saling bersaing dan tak sepenuhya bisa dikontrol, dijinakkan dan dikuasai. Tak satu pun diantara keeping realitas itu yang menduduki mahligai pusat kebenaran, menjadi “tuan di rumahnya sendiri”. Seminar unsure diri --baik yang positif, rasional-luhur maupun yang negatif-irasional-jahiliah-adalah benar dan sejati, karena sama-sama merupakan bagian integral dari Sang Diri.
Moralitas publik mengontrol perilaku individu dalam hidup bermasyarakat dengan menyingkirkan aspek Sang Diri yang dianggap negatif, irasional dan liar. Moralitas ini menegakkan sederet norma yang menetukan apa yang halal dan yang haram, yang bijak dan yang bejat, yang normal dan abnormal, yang beradab dan biadab. Namun, ketimbang bersibuk dengan moralitas publik, kehidupan estetik sebagaimana ditempuh seniman seperti Kaek lebih peduli pada moralitas privat: penjelajahan di medan karakter individual. Yang dicari adalah perluasan –diri (self-enlargement) dan pengayaan diri (self-enrichment). Semangatnya adalah kreatif: “hasrat untuk merengkuh kemungkinan yang lebih jauh, untuk terus-menerus belajar, untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada keingintahuan, untuk akhirnya terbayangkan segala kemungkinan masa silam dan masa depan” -- mengutip Richard Rorty.
Dalam semangat kreatif inilah Kaek menggarap proyek refleksi-diri sebagai sebuah pergulatan intens dengan kompleksitas Sang Diri. Carut-marut bahasa rupa kake dengan efektif memberikan bentuk bagi dinamika konflik yang berlangsung di sepanjang proses refleksi-diri tersebut. Bentuk-bentuk dalam karyanya memiliki relasi langsung dengan dunia batin dan pikiran sang seniman yang terus bergolak dan mengalir tanpa henti.
Karya-karya Kaek ibarat catatan perjalanan (travelogue) tentang sebuah tamsya yang asyik dan sekaligus menegangkan di wilayah interior Sang Diri. Gairah kreatifnya diliputi ketegangan antara pesona dan ekstase petualangan bebas dalam menjelajahi Sang Diri di satu sisi, dan kesadaran serta kebutuhan untuk mengisahkan petualangan itu di sisi lain. Dorongan kuat untuk menarasikan realitas Sang Diri yang amat kompleks (pengalaman, impian, harapan, cinta dan sebagainya) akhirnya bermuara pada keliaran ekkpresi visual.
Bahasa rupa Kaek berkarakter naïf, amat kuat mengingatkan pada kekhasan gambar ciptaan anak-anak Kaek bermain-main dengan bentuk dan medium rupa secara bebas, lepas dan tanpa beban. Citra-citra dengan kualitas data (flat), tanpa iluasi kedalaman ruang tiga dimensional, menguasai ruang pictorial. Tidak ada jurus penggayaan optis (optical mannerism) seperti perspektif atau titik lenyap (vanishing point). Fugur-fugurnya dikontruksikan secara sederhana, seakan menyembur begitu saja dari kepolosan dunia khayal anak-anak. Dengan warna-warni cenderung cerah dan meriah, suasana dalam karya Kaek terkesan riuh ringan dan riang --meskipun tak jarang mengusung muatan tematik yang bernada muram (misalnya kesepian).
Wajah, yang lazim dianggap memiliki segenap atribut karakteristik yang paling kuat menyatakan identitas diri, mendominasi karya-karya Kaek. Namun kehadiran wajah-wajah itu, betapa pun sederhananya, bukanlah jejak dari reduksi pemaknaan yang mendeskripsikan Sang Diri secara gampang, melainkan justru mengisyaratkan betapa repot dan rumitnya sebuah pendeskripsian diri. Runyam dan promblematisnya Sang Diri dapat dibaca pada kehadiran wajah-wajah yang terbentuk dari garis-garis liar yang seolah bergerak secara acak di ambang-sadar. Wajah-wajah dalam karya Kaek menyarankan sebentuk citra dalam taraf disintegrasi, ketika pola-pola muncul pada identitas pasti, labil dan berubah-ubah.
Ekspresi seni Kaek tampak dipengaruhi oleh Art Brut, L’ art burt, atau seni mentah (raw art), yang disebut oleh penulis Jean Dubuffet mencakup gambar ciptaan anak-anak dan orang sakit jiwa (the mentally ill). Seperti Dubuffet, Kaek mencurigai perfeksionisme dan cenderung tak percaya pada homo aesthetics. Energi spontan dan watak obsetif “autistic” yang khas dalam spirit kanak-kanak diledakannya secara apa adanya dalam karya. Imajinasi, fantai dan spontanitas -- segenap kualitas yang sangat melekat pada dunia kanak-kanak -- sangat sangat vital bagi ekspresi seni Kaek.
Pada gerak kreatif Kaek, orientasi terahdap spirit naïf dunia kanak-kanak yang melahirkan kenyelenehan (idiosyncrasy) adalah wahana untuk menghayati, memaknai dan menyikapkan realitas Sang Diri. Dari sanalah ia menawarkan makna-makna baru yang segar dan dapat memperkaya wawasan kita terhdap realitas.



Playfull journey made kaek